Rabu, 13 April 2011

Pagi Ini

0 komentar
"nak nak, pagi mi, mau mi setengah 7, dari tadi ibu bangunkan", kalimat yang terus berulang masuk ke telinga. Kalimat tersebut diiringi dengan dorongan lembut yang khas. Ya, dorongan dan kalimat tersebut berasal dari ibu. Ya, ibu sedang ada di Makassar, Alhamdulillah.
Kalimat yang khas, kalimat yang selalu diucapkan setiap subuh, kalimat yang berusaha membangunkan saya dari karantina tempat tidur dan bantal, kalimat yang berusaha mengeluarkan saya dari comfortzone, Ya kalimat untuk membangunkan saya dan segera sholat subuh.
Tapi sayang beribu sayang, nyawa belum menyerahkan diri ke diri ini. Ya mereka yang salah, bukan saya. Mereka harus didenda!!!! Tapi saya baik, saya murah hati. Saya memberi kompensasi berkumpulnya nyawa. Saya memberi tambahan waktu beberapa menit seraya menunggu nyawa berkumpul di raga ini (baca : baring baring beberapa menit)
Tiba tiba.....
Sebuah dorongan hebat menghantam raga. Ya, ibu tidak akan memberi kompensasi. Karena ini soal Sholat Subuh. Ok saya khilaf. Saya bangkit. Saya Wudhu. Saya Sholat. Alhamdulillah.

Saya nyalakan hape, saya sms seseorang yang berada di jalan sukaria sana. Ya.
Seperti biasanya, saraf autonom (bekerja tanpa instruksi) memerintahkan untuk menyalakan laptop, konek, dan browsing. Ok, saya tak mampu menolak. Saya lakukan.
Dua situs yang pasti selalu sering saya buka adalah Facebook dan Twitter. Inilah bukti pengaruh barat. Bukan saya yang salah, barat yang salah, hhuuuuuu!!!!! Mark Zuckerberg dan Jack Dorsey yang salah!!! Titik, bukan saya.
Cek notif, cek mention, adalah hal yang rutin saya lakukan. Melebihi kerutinan mandi. Ya, it's a fact. Ternyata saya kurang populer. Hanya sedikit yang comment atau ngetweet, sungguh kasihan. Saya menyadari bahwa inti dari situs jejaring sosial adalah adanya hubungan antarpengguna. Hubungan ini ditandai dengan ada nya comment wall atau tweet. Dengan alasan tersebutlah saya mengobrak abrik timeline, comment tak jelas, tweet tak jelas untuk memicu adanya hubungan antarpengguna sebagai indikator berhasilnya situs jejaring sosial (baca : sok kenal sok dekat) *sumpah gile bgt bahasanya.

Setelah puas menjalin hubungan *jaileh, saya lapar. Saya butuh makan. Alhamdulillah makanan tersedia. Syukur.
Makanan nya enak, mantap, maknyus. Alhamdulillah.
Setelah merasa cukup, saatnya kembali ke laptop. Ditemani suara teve dan sekotak susu ultra. Adalah sebuah kebiasaan saya maen laptop sambil dengar teve. Kenapa saya lakukan? Karena saya tidak boleh membuang-buang waktu. Waktu adalah uang. Dan uang adalah salah satu lagunya Wali. Oh itu Yank ya? Maaf-maaf.
Dan tebak apa yang ada di teve? Ya tebakan anda betul, ada gambar dan suara. Hadiah menyusul. Tapi tebak berita apa yang ada di teve. Ya anda salah, yang betul adalah berita seorang oknum yang mendadak boliwud a.k.a jadi penyanyi dangdut keliling. Dia lagi dia lagi. Saya bosan. Memang, media di negeri kita tercinta ini sangat lebay kata anak gaul. Terlalu berlebihan. Mungkin sudah tidak ada sumber berita lain. Mereka kira ini adalah hot news. Tapi sayang, itu sudah jadi cold news. Sangat membosankan *sori curhat.

Sampai saat saya menulis post ini saya masih browsing dan dengar teve. Ya, nanti ada kuliah. Ya, nanti ada CSL. Ya, sekian.

Selasa, 12 April 2011

Diskriminasi Di Dunia Ke-Parkir-an

0 komentar
Makassar 11 April 2011, sehabis Maghrib, telah terjadi sebuah bentuk perlawanan. Perlawanan akan sebuah bentuk arogansi pemerintah. Arogansi pemerintah yang menghancurkan hak-hak pekerja medis. Pekerja medis di Bulukumba dan Maros.

Ya, saya ikut didalamnya. Tak kurang 1jam kami lalu berdiri berteriak menyuarakan apa yg mau disuarakan. Selama itu pula hukum energi berlaku ditubuh ku. Energi tidak pernah lenyap a.k.a hilang. Energi cuma berubah bentuk. Energi untuk hidup 2 hari telah berubah bentuk menjadi energi panas dan energi keringat *maksa hanya dalam waktu 1 jam.

Ada hak ada kewajiban, ada aksi ada reaksi, ada lapar ada makan.
Tingtong, suara lonceng berkumandang ditelinga. Wah suara apa itu, bukan suara Adzan Maghrib tentunya, karena sudah berlalu 15 menit yg lalu. Datangnya suara tersebut diiringi datangnya sebuah image secara tiba-tiba di otakku. Sekotak pisang goreng kipas dengan lumuran coklat segar serta secercah keju parut melapisi bagian superficial pisang goreng itu. Nyam nyam. Oke tampaknya setelah sholat, saya harus singgah di Pisang Goreng Jampea.

Setelah saya berada di TKP saya secara serta merta memesan yg Special. Pelayang bertanya apakah saya mau menunggu, saya berpikir, saya terhenyuk, saya jawab ya dengan nada pasti.
Ya saya menunggu, menunggu menunggu kedatangan mu kutunggu.
Tapi sebuah kejadian terjadi karena ada yg jadi. Seorang bocah tukang parkir, tampak dimarahi oleh seorang bapak tukang parkir. Lalu seorang pria gondrong hendak membela sang bocah. Apa yang sebenarnya terjadi?????!!!! Aaaahhhhhh *apa sh

Seiring menunggunya saya, pertanyaan terungkap sudah, ternyata :
Sang bocah hendak mengambil uang parkir dari seorang pengendara. Tapi si kakek merasa bahwa daerah pisang goreng tersebut adalah daerahnya, dan itu adalah jam kerjanya. Jadi si bocah tidak boleh mengambil uang parkir. Tapi pria gondrong merasa bahwa sang bapak tua terlalu balala (=maruk). Pria gondrong pun menegur sang bapak tua. Tapi sang bapak tua berdalih bahwa di sebuah Peraturan Perundang-undangan (mantap, tau konstitusi jga) anak kecil dilarang jadi tukang parkir. Debat pun memanas. Pria gondrong mengatakan bahwa, tidak usah kita berbicara bgtu, kita lihat realita, kalau mau berbicara undang-undang, larang dlu sejuta anak diluar sana yang bekerja (realistis).
Padahal dari hasil parkiran tersebut, si anak jga membiayai hidup keluarga yang berjualan di seberang jalan. Sungguh ironis.

Bagaimana ini??? Di satu sisi anak-anak dilarang kerja parkiran karena di bawah umur. Di sisi lain anak tersebut dituntut untuk ikut membiayai keluarga. Bagaimana ini???